Label

Sabtu, 01 Agustus 2009

Tanpa Kekasihku


TANPA KEKASIHKU

Hujan turun deras hari ini namun telah berhenti beberapa saat lalu. Langit tampak mendung tanpa matahari yang bersinar seperti biasanya. Dan tadi aku berjalan seorang diri dalam derasnya hujan yang mengguyur tubuhku. Air mata terus saja membasahi pipi seakan tak mau berhenti meratapi kau yang telah pergi. Kau pergi jauh dariku untuk selamanya dan tak akan pernah kembali lagi. Kau hanya tinggalkan kenangan manis kisah cinta kita berdua. Kenangan indah yang tidak akan pernah aku lupakan sampai kapan pun. Walau kau kini sudah tiada disisiku lagi.
Kasih, bayangan wajah mu saat-saat terakhir perjumpaan kita di ruang serba putih itu masih ku ingat. Saat itu kau ucapkan kata-kata terakhir. Kata perpisahan pada ku. Air mataku juga turun sama derasnya dengan hujan hari ini. Saat itu aku memohon agar kau jangan pergi meninggalkan aku tapi kau hanya diam membisu tak mejawabku lagi. Wajahmu pucat pasi. Pandangan matamu yang kosong seakan membeku. Kutatap lagi wajah itu tapi tetap sama rautmu tak berubah.
Ku hentakan tubuh mu sambil kupanggil namamu berulang kali, kau tetap diam. Matamu hanya tertuju ke langit-langit ruang yang serba putih itu. Tangisan menggema di seluruh ruangan itu. Kau telah tiada.
Hening kurasakan seketika, lalu aku berteriak dalam hati yang bergejolak untuk melampiaskan emosi jiwa yang terluka. Jiwaku kosong. Hampa dan mati rasa. Yang ada hanya kelam dan aku pun tak tahu apa yang terjadi setelah itu.
Aku hanya tahu saat kubuka mata ini kau telah terbungkus kain putih. Di sekelilingmu kulihat orang-orang dengan wajah-wajah duka tertunduk mengenakan pakaian serba hitam. Mereka mengalunkan ayat-ayat suci ilahi dengan irama sendu menyayat kalbu. Kadang terdengar selingan isak tangis pilu membahana memenuhi ruangan. Walau tak sedikit orang yang mencoba menghibur dan menabahkan hatiku tetap saja aku hanya bisa terdiam berlinang air mata kini, aku seakan masih tak percaya dengan semua yang terjadi.
Beberapa laki-laki membawamu dengan tandu yang bertutup kain bertuliskan asma ilahi. Dan aku sendiri hanya mengikuti mereka dari belakang dengan di payungi payung hitam.
Dari jauh kulihat sebuah lubang besar di tanah yang masih baru dan basah oleh gerimis yang mulai turun. Semakin lama kau di bawa semakin dekat dengan lubang besar itu. Kini kita tepat di samping lubang besar yang menganga seperti luka hatiku. Tak lama kemudian kulihat kau dibawa turun ke dalam lubang itu dan aku tetap terdiam melihat semua yang terjadi di depan mataku. Tak ada air mata lagi seperti tadi, tak ada ekpresi yang merona di wajah ku seperti tadi. Hanya terdiam membisu seperti mati rasa hati dan perasaan ku. Hingga ku lihat sedikit demi sedikit tanah menutupi tubuh mu.
Tangisku membuncah seketika bersama doa-doa yang mengiringi kau kembali menghadap Nya. Aku terduduk lemas di atas tanah. Satu persatu orang yang tadi ada di sini pergi. Kini hanya ada kita berdua di bawah hujan yang mulai turus deras kembali seolah langit ikut menangis bersamaku.
Aku biarkan payung hitam itu tinggal untuk menaungimu dan aku berjalan melangkahkan kakiku yang gontai meninggalkan tanah kuburan yang jadi rumah barumu sekarang. Bersama hujan yang semakin deras dan semakin mengguyurku. Aku terkenang lagi kisah kita.
***
“Desti, tunggu aku! Kau mau kemana, kok buru-buru amat?” Tanya Randi lembut.
“Sorry say, aku mau ke konsernya Agnes ma temen-temen. Nanti aku telpon deh.”
“Tapi kamu sudah janji mau nemenin aku nontonkan.” Ucap Randi sambil memegang tanganku.
“Sorry ya, please ngertiin aku kali ini aja. Kita nontonnya lain kali aja ya. Besok-besok filmnya pasti bisa diputar ulang tapi kalau konsernya gak di ulang lagi kan?” Aku mencoba memberi pengertian pada Randi.
“Tapi say….” Randi seolah tak rela melepaskan genggaman tangannya. Ini untuk pertama kali Randi seperti ini. Seolah tiada hari esok lagi untuk bersama.
“Sudahlah sayang, aku kekonserkan cuma beberapa jam aja bukan selamaya. Aku pergi dulu ok. Aku sayang kamu. Daa…” ucapku sambil kukecup pipinya dan aku berlalu pergi.
Tak pernah terlintas dalam pikiranku itu akan menjadi kecupan terakhir kita. Kau begitu marah karena aku tidak menemanimu nonton sehingga kau pergi tinggalkan aku untuk selamanya. Hati ini ringkih dan rapuh tanpa dirimu. Aku kini membenci mobil. Sampai kapan pun aku tidak akan naik mobil lagi karena mobil itu kau pergi tinggalkan aku. Mobil itu mengambil mu dariku. Merenggut semua senyum dalam hari-hari indahku.
Kini marah, benci, kecewa dan sesal bercampur dalam benakku kian lama seperti bom waktu yang siap meledak pada saat waktunya sudah habis.
***
Aku terus berjalan meninggalkan dirimu yang tertidur tenang di rumah barumu. Dalam jiwa, lukaku begitu besar menganga. Di telingaku mengalun sendu syair-syair lagu penyanyi kesukaanku, Agnes Moica. Lagu “Tanpa Kekasihku” sungguh mengingatkan aku padamu.
Langit begitu kelam
Hujan tak juga reda
Kuharus menyaksikan
Cintaku terenggut tak terselamatkan ….
Ingin ku ulang hari
Ingin ku perbaiki
Kau sangat kubutuhkan
Beraninya kau pergi dan tak kembali ….
Syair-syair lagu itu terus membekas di jiwaku. Setiap kudengarkan selalu teringat hari terakhir itu. Entah sampai kapan penyesalan ini akan ada. Aku sendiri tidak tahu. Mungkin hingga suatu saat nanti. Ketika lukaku sudah tidak menganga, atau air mataku sudah kering dan tak sanggup menangisimu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar