KUPU-KUPU
“Hai bajingan. Keparat kau, mana bayaranku. Kau mau pergi begitu saja ha…”
“Cepat mana bayaran ku.”
“Anjing kau. Kau kira aku apa. Segini cuma cukup buat tidur dengan pelacur kelas rendah di jalanan.”
“Alah kau pun pelacur jalang, sama saja semua pelacur ya tetap pelacur.”
“Hai anjing kau mau kemana? Cepat bayar aku!”
“Anjing…. Laki-laki bajingan, setan alas… dasar lelaki hidung belang. Kalau kau tak punya uang tak usah datang padaku untuk melampiaskan birahimu.”
“Laki-laki iblis, napsumu saja besar kemampuanmu kecil sekecil kemaluanmu.”
Begitu banyak makian dari mulut kulontarkan pada laki-laki tua yang sejak semalaman menggempurku dalam kamar kosku ini. Tapi dia hanya pergi berlalu seolah tanpa dosa.
“Kenapa kau Win, pagi-pagi begini sudah ribut. Bayaranmu kurang lagi? Kan sudah kubilang jangan mau dengan orang yang tak punya tampang elit macam itu kau tak percaya padaku. Selalu saja kau main embat, asal dia ganteng sedikit kau rela membuka paha untuknya.”
“Semua laki-laki anjing, sama semuanya. Maunya hanya enaknya tapi kalau soal bayaran selalu saja mencari-cari alasan.”
“Alah sudahlah kau pun salah mengapa kau mau dengan laki-laki miskin seperti itu.”
“Ya sudah sana cepat kau mandi, kau mau terlambat kuliah lagi. Kau mau aku tinggal pergi duluan hah? Lagian apa kau tidak malu selalu terlambat mata kuliah pak Bakri.”
“Iya … iya… aku mandi, tapi kau tunggu aku.”
“Jangan kau lama-lama. Belum lagi kau berdandan, kau selalu berdandan berjam-jam aku bosan menungumu. Kalau terlalu lama aku tinggal kau. Aku tak mau gara-gara kau aku juga telat.”
“Tenang non, paling pak Bakri cuma menanyakan alasan kita telat. Pak Bakri tidak berani macam-macamlah dengan aku.”
“Kau selalu sok seperti itu, emang kau kira kau bisa mengatur pak Bakri semau mu?”
“Pasti bisalah.”
“Hah… mengapa kau seyakin itu?”
“Karena aku pegang kartu Asnya.”
“Kartu As? Jangan bilang kau sudah tidur dengan pak Bakri. Dasar pelacur sialan kau.”
“Iya. Makanya nilai pelajaran Kenegaraan ku A slalu.”
***
“Hai Wina, apa kabar? Masih ingat aku tidak…?”
“Maaf siapa ya, aku lupa.”
“Ini aku Panji. Teman SMU mu dulu.”
“Panji…? Panji yang di panggil Paijo ya? Hah! benar kau Paijo yang culun itu? Kok beda ya, kau berubah?”
“Walah jangan panggil Paijo donk, itukan dulu. Sekarang aku jadi lebih keren kan? Hehehhe narsis ya.”
“Emang tu.”
“Jadi kau ngapain disini? Nyari siapa? Pacarnya ya?”
“Enggak lah, aku masih jadi jojoba kok. Jomlo-jomlo bahagia.”
“Trus ngapain?”
“Ya kuliahlah masa mau bercocok tanam sih. Emang kenapa gak mirip anak kuliahan ya?”
“Bukan begitu, aku heran aja soalnya baru pertama kali kulihat kau disini.”
“Kok telat nyambung kuliahnya, teman-teman kita sudah mau selesai tinggal nyusun skripsi.”
“Ya maklumlah aku kerja dulu nyari uang buat kuliahnya. Kamu mau selesai juga ya? Sayang ya kita gak bisa ketemu lama di kampus.”
“Gitu deh. Oh kau kerja apa sekarang?”
“Aku di perusahaan Jasa telekomunikasi.”
“Wah hebat donk, pasti banyak gajinya ya?”
“Lumayanlah bisa buat hidup di kota besar ini dengan semua harga barang yang begitu mahal.”
“Kau tinggal dimana disini? Kapan-kapan main ke tempat aku ya. Aku ngekos di sini. Di Jalan Mungkur II no. 58.”
“Aku di Jalan Pancing no.15. Iya nanti sekali waktu aku usahakan ke sana.”
“Iya aku tunggu ya.”
“Wina…Ayo! kau mau masuk kelas tidak?”
“Iya bentar ah. Panji aku ke kelas dulu ya tar kita sambung lagi.”
“Win minta no Hpmu boleh?”
“Boleh, 0813 5634 3214. Telpon aku ya!”
“Iya. Pasti aku telpon.”
“Siapa lagi tu Win? Mangsa barumu ya? Tajir tu orang. Kenalin donk…”
“Biasa aja temen lama. Sok tau kau. Emang kau tau dari mana dia tajir?”
“Tu lihat mobil jaguar hitam itu, tadi dia pakek tu mobil kekampus ni.”
“Masa? Kau salah lihat kali?”
“Eh kau kira mataku katarak apa? Dari tadi dia nyampe semau juga lihat tu orang kluar dari tu mobil.”
“Gila, aku blom bisa percaya kalau blom lihat sendiri. Habis dulu dia culun banget gitu waktu SMU.”
“Ye…, semua orang bisa berubah bu….”
“Sudah ah gak usah dibahaslah.”
‘Emang kau tidak naksir ma dia?”
“Enggaklah, aku tidak mau jatuh cinta, menyakitkan. Apa lagi perempuan sekotor kita tidak pantas menikmati cinta. Tapi kalau cuma buat happy-happy aku maulah.”
“Emang kenapa? Kita juga manusia walu kita kotor kita juga butuh cinta butuh kasih sayang, butuh orang yang mendapampingi.”
“Alah sok filsuf kau, kau sendiri sampai saat ini tidak pernah merasakan jatuh cinta bukan?”
“Iya tapi aku juga tidak ingin seperti ini terus-terusan. Apa kau tidak pernah berpikir untuk berhenti dari semua pekerjaan kotor kita dan hidup layaknya seperti wanita lain. Tidakkah kau ingin hidup terhormat?”
“Hey, kau bilang hidup terhormat? Kau mabuk atau gila? Kau pikir pelacur masih punya kehormatan? Bagiku asal bisa makan, bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hariku dengan menjual diri pun aku mau.”
“Ah susah kalau bicara dengan kau. Gak pernak kau anggap kata-kataku. Terserah kaulah. Terserah kau mau berbohong pada dirimu sendiri sampai kapan kau mau.”
“Hey jaga ucapanmu, apa maksudmu aku berbohong pada diriku sendiri. Kau tahu apa tentang diriku. Kau tidak tahu apa-apa. Sebaiknya kau diam.”
“Maaf Win, aku tidak bermaksud membuatkau marah. Please jangan nangis.”
“Kau tidak pernah tau isi hatiku. Aku juga tidak mau seperti ini terus. Aku juga ingin merasakan cinta. Siapa sih yang mau hidup terhina seperti ini terus? Aku juga ingin bahagia.”
“Maaf Win aku tidak pernah tau isi hatikau seperti itu. Karena yang kulihat kau slalu riang dan seolah menikmati statusmu yang sekarang. Kau seperti kupu-kupu yang senang hidup berkelana bersama beribu kumbang.”
“Iya mungkin aku kupu-kupu liar yang terlihat senang dengan kehidupan malam tapi aku sunggu benci pada diriku sendiri.”
“Aku kotor. Menjijikan. Tak mungkin aku mencintai orang-orang yang baik dan terhormat seperti Panji. Jika harus jujur, sebenarnya aku mencintai Wanto si wartawan majalah itu.”
“Apa? Jangan bercanda kau Win. Wanto yang selalu mengantarmu tiap malam pulang karena kalian searah jalan itu. Wanto yang selalu membantumu dengan senang hati walau dia tidak tau sebenarnya kau siapa. Wanto itu….”
“Iya, Wanto itu yang telah merebut hariku. Tapi aku sadar aku tak pantas untuknya. Aku terlalu kotor. Aku perempuan nista.”
“Entahlah Win… Mungkin sudah takdir kita menjadi kupu-kupu malam yang liar dan hina.”
”Biarlah kita jalani saja, esok akan bagaimana biar tuhan yang mengaturnya. Aku pun tidak mau terlalu memikirkan nya. Terlalu menyakitkan. Kita nikmati saja hidup.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar