Label

Rabu, 15 Februari 2012

STRUKTUR INDUSTRI ROKOK


I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Keberadaan industri rokok di Indonesia memang dilematis. Di satu sisi ia diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah karena cukai rokok diakui mempunyai peranan  penting dalam penerimaan negara. Namun di sisi lainnya dikampanyekan untuk dihindari karena alasan kesehatan. Peranan industri rokok dalam perekonomian Indonesia saat ini terlihat semakin besar, selain sebagai motor penggerak ekonomi juga menyerap banyak tenaga kerja. Industri rokok di Indonesia mengalami pertumbuhan fenomenal. Resesi  ekonomi yang dimulai dengan krisis moneter sejak Juli 1997 tidak terlalu berpengaruh dalam kegiatan industri tersebut. Pada Tahun 1994 penerimaan negara dari cukai rokok saja mencapai Rp 2,9 triliun, Tahun 1996 meningkat lagi menjadi Rp 4,153 triliun bahkan pada tahun 1997 yang merupakan awal dari krisis ekonomi penerimaan cukai negara dari industri rokok menjadi Rp 4,792 triliun dan tahun 1998 melonjak lagi menjadi Rp 7,391 triliun (Indocommercial, 1999: 1).
Dalam industri rokok, dominasi dari para pelaku utama bisnis ini sudah cukup dikenal. Pada tiga tahun (tahun 1999, 2000, 2001) ternyata 3 perusahaan rokok, yaitu PT.Gudang Garam Tbk, PT. HM Sampoerna Tbk dan PT. Djarum, selalu masuk dalam jajaran “Sepuluh Besar Perusahaan Terbaik” di antara 200 Top Companies di Asia yang disusun peringkatnya oleh majalah Far Eastern Economic Review (FEER). Di tengah krisis ekonomi yang dinilai belum tampak pangkal akhirnya, sungguh melegakan bahwa setidaknya ada 10 perusahaan yang masuk kategori berkinerja prima di antara 200 perusahaan terbaik di kawasan Asia. Menariknya, di antara 10 besar tersebut, tiga di antaranya merupakan raksasa kretek Indonesia.
Hal ini patut menjadi poin analisis terhadap struktur industri rokok yang sangat besar terutama untuk rokok kretek. Dimana hasil analisis nantinya dapat memberikan gambaran dari struktur industri rokok (rokok kretek) di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
Keadaan industri rokok secara umum dan industri rokok kretek secara khususnya yang merupakan salah satu industri yang tetap bertahan hingga kini melewati krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 memunculkan pertanyaan yang patut dianalisis yaitu “Bagaimanakah struktur industri rokok (rokok kretek) di Indonesia?.

C.     Tujuan dan Manfaat Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan ini untuk mengetahui struktur industri rokok terutama industri rokok kretek di Indonesia. Hal ini berguna sebagai sumber informasi pendukung dalam pembelajaran keilmuan ekonomi industri.





II.                INDUSTRI ROKOK INDONESIA
A.    Sejarah Rokok
Tulisan awal tentang tembakau berasal dari Christophorus Columbus tahun 1492, yang  melaporkan penduduk asli Benua Amerika senang menghisap tembakau untuk mengusir rasa letih. Daun tembakau juga digunakan untuk keperluan upacara ritual dan bahan pengobatan di kalangan Suku Indian. Kemudian para penakluk dan penjelajah dari Eropa mulai menghisap daun tembakau sehingga kebiasaaan ini menyebar keseluruh penjuru dunia (Budiman & Onghokham,1987).
Rokok merupakan benda yang tidak asing lagi bagi penduduk Indonesia malahan keberadaan rokok di Indonesia sudah mengakar. Legenda percintaan antara Roro Mendut dan Pranacitra  yang menampilkan ikon rokok sebagai obyek dari cerita yang ada di Jawa tersebut membuktikan bahwa keberadaan rokok di tanah Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya sudah mapan. Legenda tersebut mengkisahkan Roro Mendut yang dibebani pajak oleh Tumenggung Wiraguna sebesar tiga real sehari yang disebabkan cintanya ditolak oleh Roro Mendut. Untuk membayar pajak yang dibebankan oleh Tumenggung Wiraguna maka Roro Mendut membuka home industry rokok. Rokok produksi Mendut diserbu peminat khususnya kaum pria, salah satunya adalah Pranacitra yang kemudian menjalin cinta dengan Mendut.
Kebiasaan merokok mulai menyebar di pulau Jawa karena adanya kabar bahwa kebiasaan merokok dapat menyembuhkan sakit bengek atau sesak napas. Mula-mula Haji Djamari penduduk Kudus yang menderita sakit di bagian dadanya mempelopori penggunaan minyak cengkeh dalam mengobati penyakitnya dan ternyata penyakitnya mulai sembuh. Dengan naluri bisnisnya maka Haji Djamari mulai membuat “rokok obat” yang diproduksi dalam skala industri rumah tangga dan laku di pasaran. Pada saat itu “rokok obat” lebih dikenal dengan nama “rokok cengkeh”, kemudian sebutan tersebut berganti menjadi “rokok kretek” karena  bila rokok ini dibakar maka berbunyi berkemeretekan. (Budiman & Onghokham,1987)
Perkembangan rokok kretek Indonesia dimulai di Kudus pada tahun 1890 kemudian menyebar ke berbagai daerah lain di Jawa Tengah antara lain  Magelang, Surakarta, Pati, Rembang, Jepara, Semarang juga ke Daerah Istimewa Yogyakarta (Gatra, 2000: 54). Perkembangan industri rokok di Indonesia ditandai dengan lahirnya perusahaan rokok besar yang menguasai pasar dalam industri ini, yaitu PT. Gudang Garam,Tbk yang berpusat di Kediri, PT. Djarum yang berpusat di Kudus, PT.HM Sampoerna, Tbk yang berpusat di Surabaya, PT. Bentoel yang berpusat di Malang dan PT. Nojorono yang berpusat di Kudus. Rokok Indonesia memiliki cita  rasa yang berbeda dengan  rokok luar negeri yang biasa dikenal dengan nama rokok putih.
Rokok Indonesia, yang dikenal dengan rokok kretek ( clove cigarette ), mempunyai cita rasa yang berbeda karena adanya pemanfaatan bahan baku cengkeh  (sebagai tambahan aroma) selain tembakau sebagai bahan pokoknya. Dalam sejarah perkembangannya produksi rokok cenderung mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, salah satu sebabnya adalah makin dikenalnya rokok kretek sehingga permintaan untuk rokok kretek meningkat. Sebelum tahun 1975 industri rokok Indonesia  masih didominasi oleh rokok putih yang diimpor.  Setelah tahun 1975 industri rokok kretek mampu menjadi primadona di negerinya sendiri.

B.     Produksi Rokok Di Indonesia
Indonesia menyumbang 2,1 persen dari persediaan daun tembakau di seluruh dunia. Hampir seluruh produksi daun tembakau digunakan untuk produksi rokok domestik dan produk-produk tembakau lainnya; namun antara tahun 1995-2005, sekitar 16-47 persennya diekspor. Di saat yang sama, Indonesia mengimpor daun tembakau yang cukup banyak sebesar 31 persen dari produksi domestik pada tahun 2005 (Tabel 1).

Tabel 1. Produksi Tembakau, Rasio Ekspor Impor terhadap
Produksi Domestic dan Nilai Ekspor Neto, 1995 - 2005

Pemanfaatan tanah pertanian di Indonesia untuk produksi daun tembakau adalah sekitar 1 persen (antara periode 1960 sampai 2000) dari luas lahan tanaman semusim, dan sejak tahun 2001 telah menurun sedikit.  Fluktuasi produksi daun tembakau disebabkan oleh perubahan biaya input tenaga kerja, inputsektor pertanian dan pengolahan daun tembakau. Biaya input yang lebih tinggi menyebabkan petani mengalokasikan lebih sedikit waktu dan investasi untuk tanaman mereka.
Cengkeh adalah bahan baku kedua terpenting dalam produksi kretek setelah tembakau. Indonesia memproduksi 76 persen dari persediaan cengkeh dunia. Lebih dari 90 persen produksi cengkeh dimanfaatkan secara domestik (kecuali tahun 1998, di mana 22 persen produksi cengkeh diekspor). Sebagian besar (72 persen) permintaan cengkeh tahunan berasal dari industri kretek. Sekitar 1,2 juta petani kecil memiliki 90 persen pohon cengkeh. Namun, seperti tembakau, menanam cengkeh bukan pekerjaan purna waktu. Penanaman cengkeh lebih tersebar, tetapi lebih dari dua pertiga persediaan cengkeh berasal dari pulau Sulawesi, provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Antara tahun 1995-2002, total produksi cengkeh menurun akibat monopoli cengkeh yang dibentuk pada tahun 1990, yang menetapkan harga beli dari petani. Setelah monopoli dibubarkan tahun 1998, harga riil cengkeh meningkat 13 kali lipat antara tahun 1998-2002 dan produksi juga meningkat. Pada tahun 2002, diberlakukan pembatasan impor cengkeh untuk memaksa kenaikan harga cengkeh demi kepentingan para petani.
Dilihat dari jumlah perusahaan secara total, pada periode tahun 1981-2002 industri rokok cukup dinamis. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah perusahaan yang bergerak pada industri rokok kurun waktu tersebut telah mencapai 201 perusahaan. Tahun berikutnya jumlah perusahaan mengalami penurunan sampai dengan tahun 1990 yang merupakan pada titik terendah, dengan jumlah perusahaan sebanyak 170.
Pada tahun 1990, industri rokok mulai bangkit kembali, dan terus berkembang hingga sampai tahun 1995 dengan jumlah perusahaan mencapai 244 perusahaan. Tahun 1996,  industri rokok kembali lesu, sehingga hanya 228 perusahaan. Setelah tahun 2000, industri rokok  relatif stabil, hal ini terlihat dari jumlah perusahaan yang jumlahnya berkisar 244 sampai dengan 247  perusahaan. Dari total industri rokok tersebut,  sebesar 84,6 persen terdiri dari industri rokok kretek (31420),  sebesar 4,1 persen merupakan industri rokok putih (31430), dan sebesar 11,3 persen dari industri rokok lainnya (31440).
Dilihat dari pertumbuhan, secara total industri rokok tumbuh rata-rata 3,2 persen per tahun. Perusahaan rokok kretek (31420) tumbuh sebesar 4,64 persen per tahun, industri rokok putih (31430) tumbuh sebesar – 1,01 persen per tahun, serta industri rokok lainnya (31440) tumbuh sebesar – 1,98 per tahun.
Jumlah perusahan rokok yang memproduksi rokok terlihat jelas mempengaruhi jumlah produksi rokok setiap tahunya. Hal ini juga mempengaruhi pangsa pasar penjualan rokok. Adapaun perubahan pangsa pasar perusahaan rokok besar tahun 1979 – 2005 disajikan dalam tabel.
Tabel 2. Pangsa Pasar Perusahaan Rokok Besar, 1979 - 2005

C.     Struktur Industri Rokok (Rokok Kretek) Di Indonesia
Merujuk pada studi empiris yang dilakuakan Simon Bambang Sumarno, Alumnus Magister Manajemen UGM dan Mudrajat Kuncoro, Mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM, maka dapat dikatan bahwa struktur industri rokok (rokok kretek) di Indonesia adalah bersifat oligopoly. Dimana dalam analisisnya mereka menggunakan indikator rasio konsentrasi dan Indeks Herfindahl-Hirchsman (IHH).
Berdasarkan analisis standar dalam ekonomi industri, struktur industri dikatakan berbentuk oligopoli bila 4 perusahaan terbesar menguasai minimal 40% pangsa pasar penjualan dari industri yang bersangkutan (CR4 = 40%).
Dari tabel 2 kita dapat melihat pada tahun 1989 ada beberapa perusahaan yang memiliki pangsa pasar lebih dari 10 persen.  Ini berarti bila 4 perusahaan saja (Gudang Garam, Djarum, Sampoerna dan Bentoel) yang di gunakan untuk perhitungan maka akan diperoleh CR4 = 41%.
Hasil ini konsisten dengan studi Hornaday (1994: 129-132) dan laporan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) yang menunjukkan dominasi 4 perusahaan rokok PT Gudang Garam, Tbk., PT HM. Sampoerna, Tbk., PT Djarum dan PT Bentoel. Menurut GAPPRI pada tahun 1998, 22 pabrik rokok kretek terbesar dalam negeri memproduksi 164,1 miliar batang rokok kretek, terdiri dari rokok kretek yang digulung dengan tangan (SKT) sebesar 54,8 miliar batang, rokok kretek yang dihasilkan dengan mesin (SKM) sebesar 109 miliar batang dan rokok klobot 253 juta batang. Berikut ini akan dikupas profil dan penguasaaan pasar keempat perusahaan tersebut.
1.                           PT. Gudang Garam, Tbk
Perusahaan ini didirikan pada tahun 1958 di Kediri, pertama kali memproduksi klobot kretek. Berkat sistem manajemen yang profesional terutama menjelang tahun–tahun awal 1980-an perusahaan ini melejit mendahului perusahaan-perusahaan lainnya. Perusahaan ini menjadi perusahaan publik terbesar dalam industri rokok. PT Gudang Garam, Tbk adalah penguasa pangsa pasar terbesar industri rokok kretek di Indonesia yang menghasilkan 74,4 miliar batang rokok atau 45,4 % dari jumlah produksi 22 perusahaan terbesar yang bergabung dalam GAPPRI. Porsi sigaret kretek tangan (SKT) yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut terus menurun, pada tahun 1998 dari 74,4 miliar batang rokok yang dihasilkan  61,2 miliar batang rokok (82,1%) adalah sigaret kretek mesin (SKM), sementara produksi SKT dan klobot hanya 13,1 miliar (Indocommercial, 1999:1). Melalui merek andalannya, Gudang Garam hingga kini menguasai pangsa pasar hingga 50%. Sumbangan terbesar Gudang Garam diperoleh dari SKM dengan merek Gudang Garam Filter International. Merek dalam segmen SKM yang dimiliki oleh Gudang Garam antara lain  Gudang Garam Surya 12, Gudang Garam Surya 16, Gudang Garam Filter International Merah 12, Gudang Garam Filter International Merah 16. Sedangkan merek dalam segmen SKT yang dimiliki  Gudang Garam adalah Gudang Garam King Size 12, Gudang Garam King Size 16, dan Gudang Garam Surya Pro (Indocommercial, 2002: 4)
2.                           PT. HM. Sampoerna,Tbk
Perusahaan ini didirikan oleh almarhum Liem Seng Tee sejak tahun 1913 yang memproduksi kretek merek “Djie Sam Soe”.  Merek ini berarti angka 234 dengan filosofi bila dijumlahkan akan menghasilkan angka sembilan, yang dianggap keberuntungan menurut kepercayaan Cina. Pada tahun 1930 status usahanya berubah menjadi PT dengan nama Handel Maatschappij Liem Seng Tee. Pada tahun 1963 nama perusahaan ini diubah menjadi PT. PD & I Panamas  atau disingkat  PT. Panamas dengan pemegang sahamnya Mr. Aga Sampoerna dan Mr Liem Swie Hwa. Pada tahun 1977 terjadi lagi perubahan dengan masuknya Mr. Putera Sampoerna anak dari Mr. Aga Sampoerna. Pada tahun 1988 namanya berubah menjadi  PT. Hanjaya Mandala Sampoerna sekaligus dengan memasukkan beberapa pemegang saham baru. PT. HM Sampoerna  telah go public pada bulan Juli 1990 dengan menjual 15% sahamnya ke masyarakat atau sebanyak 27 juta lembar. (Indocommercial, 2002: 4). PT. HM. Sampoerna,Tbk merupakan perusahaan yang memegang pangsa pasar kedua setelah PT. Gudang Garam,Tbk. Dengan jumlah produksi 25 miliar batang rokok,  poduksi SKMnya mencapai 9,4 miliar batang rokok atau hanya 37,6% dari total produknya. Produk SKT yang dimiliki  Sampoerna saat ini adalah Djie Sam Soe dan Sampoerna Hijau. Di segmen SKM adalah Djie Sam Soe Filter, A King Merah dan A King Hijau, Serta A International yang menggunakan teknologi twin wrap. Untuk produksi SKM LTLN Sampoerna mempunyai merek unggulan yaitu A Mild Merah 12 dan 16, A Mild Hijau 12 dan 16.
3.                           PT. Djarum
PT. Djarum merupakan perusahaan rokok kretek terkemuka di Indonesia dan menguasai pangsa pasar industri rokok kretek terbesar ke tiga di Indonesia. Didirikan oleh Oei Wie Gwan dari sebuah pabrik rokok kecil di Kudus yang dibelinya pada tahun 1951. Nyaris punah pada saat terbakar dan  saat Oei Wie Gwan wafat. Karena kegigihan dari dua bersaudara putra dari Oei Wie Gwan yang membangun kembali puing-puing yang tersisa sehingga PT Djarum dapat tetap bertahan. Mengawali sukses dengan sigaret kretek tangan (SKT), Djarum kemudian sukses juga merambah sigaret kretek mesin (SKM) (http://www.Djarum.Com, 23 April 2002). PT. Djarum menempati posisi ketiga dalam industri rokok kretek di Indonesia dengan jumlah produksi 20,9 miliar batang rokok dengan porsi SKM 9,3 miliar batang (44,5%). Pada tahun 1985 dan 1986 PT. Djarum pernah menduduki  tempat teratas dalam produksi rokok kretek dalam negeri meninggalkan PT. Gudang Garam. Produk-produk Djarum disalurkan ke seluruh pelosok Indonesia dan mancanegara melalui jaringan distribusi terpadu dan terkomputerisasi yang dibangun untuk memberikan layanan profesional dan tepat waktu kepada para pelanggan. Distribusi pasar nasional dikelola oleh tiga perusahaan yaitu PT. Anindita Multiniaga Indonesia untuk wilayah Jawa Timur, Sulawesi, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, Nusa Tenggara dan Papua. PT. Lokaniaga Adipermata untuk Jawa Tengah dan Jawa Barat dan PT. Adiniaga Sentrapersada untuk wilayah Jabotabek, sebagian Jawa Barat, Sumatera serta Kalimantan Barat.
4.                           PT. Bentoel
PT. Bentoel didirikan di Malang, Jawa Timur pada tahun 1920. Produk pertamanya adalah rokok klobot dengan merek Burung. PT. Bentoel pernah menduduki posisi ketiga industri rokok kretek di Indonesia, tetapi beberapa tahun lalu mengalami masalah karena besarnya beban hutang di perusahaan tersebut. Tepatnya pada bulan Juni 1991 lalu, perusahaan tersebut tidak dapat membayar pinjaman setelah jatuh tempo sebesar US$ 45 juta kepada sindikasi bank international. Masalah ini timbul karena kesalahan dalam pengendalian keuangan sehingga PT. Bentoel terpaksa mengundang pihak luar yaitu PT. Rajawali Wira Bhakti Utama (RWBU). (Indocommercial, 2002: 6). Sumbangan PT. Bentoel dalam industri rokok kretek di Indonesia yaitu dengan mempelopori dan mengembangkan sistem rolling otomatis pertama pada tahun 1968. Produk Bentoel di segmen SKT adalah Bentoel Merah, sedangkan untuk SKM adalah Bentoel International 12, untuk segmen SKM LTLN Bentoel mengeluarkan dua produk yaitu  Star Mild dan Bentoel Mild.












III.             PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa struktur indrustri rokok (rokok kretek) di Indonesia bersifat oligopoly. Hal ini terlihat jelas dengan adanya 4 perusahaan rokok besar yang memiliki pangsa pasar lebih dari 40%.

B.     SARAN- SARAN
Diperlukan pembelajaran lebih lanjut terhadap metoda pengklasifikasian struktur suatu industri atau perusahaan. Baik melalui pendekatan indikator konsentrasi perusahaan maupun Indeks Herfindahl- Hirschman (IHH).












DAFTAR PUSTAKA

http://strategika.wordpress.com/2008/08/04/mengukur-struktur-industri
http://www.mudrajad.com/.../journal_struktur-kinerja-kluster-industri-rokok
http://www.naikkan-hargarokok.com/.../EkonomicTobaccoIndonesiaBabV
http:// www.docstoc.com › BusinessOther

Tidak ada komentar:

Posting Komentar