BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam
konteks negara modern, pelayanan publik telah menjadi lembaga dan profesi yang
semakin penting. Ia tidak lagi merupakan aktivitas sambilan, tanpa payung
hukum, gaji dan jaminan sosial yang memadai, sebagaimana terjadi di banyak
negara berkembang pada masa lalu.
Sebagai
sebuah lembaga, pelayanan publik menjamin keberlangsungan administrasi negara
yang melibatkan pengembangan kebijakan pelayanan dan pengelolaan sumberdaya
yang berasal dari dan untuk kepentingan publik. Sebagai profesi, pelayanan
publik berpijak pada prinsip-prinsip profesionalisme dan etika seperti
akuntabilitas, efektifitas, efisiensi, integritas, netralitas, dan keadilan
bagi semua penerima pelayanan.
Menguatnya
embusan globalisasi, demokratisasi, dan desentralisasi membawa peluang
sekaligus tantangan tersendiri bagi pelayanan publik, khususnya pelayanan
sosial bagi masyarakat dengan kebutuhan khusus. Dengan memfokuskan pada
kelompok penyandang cacat dan lanjut usia, makalah ini membahas bagaimana Departemen
Sosial menerapkan kebijakan pelayanan sosial terhadap kelompok yang kurang
beruntung ini.
Dengan dasar tersebut maka
Penulis ingin melakukan kajian dan merumuskan dalam karya tulis dengan judul “Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik
Bagi
Masyarakat Dengan Kebutuhan Khusus”.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahannya
yaitu: “Bagaimanakah Penerapan Kebijakan
Pelayanan Publik Bagi
Masyarakat Dengan Kebutuhan Khusus?”.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah: untuk mengetahui bagaimanakah Penerapan
Kebijakan Pelayanan Publik
Bagi
Masyarakat Dengan Kebutuhan Khusus.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah:
a.
Merupakan bahan
masukan dalam hal kebijakan pelaksanaan pelayanan publik bagi
masyarakat dengan kebutuhan khusus.
b.
Sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian selanjutnya serta untuk mahasiswa yang berminat
mengambil objek penelitian ini.
c.
Untuk menjadi
bahan tambahan dalam pembelajaran dan pemahaman mata kuliah Ekonomi Publik pada
Fakultas Ekonomi Universitas Almuslim Kabupaten Bireuen.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Kebijakan
dan pelayanan publik
Kebijakan
publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran
strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik.
Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat
oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang
banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat
banyak.
Selanjutnya,
kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan
oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern
adalah pelayanan publik, yang merupakan segala bentuk jasa pelayanan, baik
dalam bentuk barang maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung
jawab dan dilaksanakan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan
kualitas kehidupan orang banyak (Wikipedia, 2008).
Dalam
pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi.
Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar
pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi
haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana
bentuk layanan itu.
Untuk
mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka
diperlukan sedikitnya tiga hal:
1. Adanya
perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui
publik apa yang telah diputuskan;
2. Kebijakan
ini harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; dan
3. Adanya
kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah
kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak
(Wikipedia, 2008).
Dalam
masyarakat otoriter kebijakan dan pelayanan publik seringkali hanya berdasarkan
keinginan penguasa semata. Sehingga penjabaran tiga hal di atas tidak berjalan.
Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah
bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat
dukungan publik.
Kemampuan
para pemimpin politik berkomunikasi dengan masyarakat guna menampung keinginan
mereka adalah penting. Tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin
untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi.
Adalah
naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh
masyarakat setiap saat. Namun, adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak
memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan
kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya.
Saat
ini tantangan utama negara-bangsa di seluruh dunia bukan lagi isu perang
dingin. Melainkan meningkatnya kompleksitas kemiskinan, konflik etnis,
penguatan demokrasi dengan segala resikonya, serta globalisasi ekonomi termasuk
perubahan peran dan interaksi antara negara, pasar, dan masyarakat madani.
Selain itu, aspirasi dan tuntutan masyarakat juga semakin meningkat akibat
semakin terbukanya informasi dan meningkatnya kesadaran hak-hak warga negara.
Perubahan
global ini telah mengubah lingkungan dimana pemerintahan beroperasi, menantang
peran tradisional negara, dan memperkenalkan aktor-aktor baru pada proses
pembangunan dan kepemerintahan (governance). Transformasi global ini
juga menuntut reformulasi peran dan tanggung jawab para pegawai negeri sebagai
pengelola sumber-sumber publik dan penjaga mandat kepercayaan masyarakat.
Eskalasi
perubahan global ini juga telah menimbulkan isu-isu moral seperti
penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, crony capitalism, “sweatheart
deal” privatization, dan perilaku pemerintah yang tidak profesional
dan etis lainnya (UNDESA, 2000).
Studi
-studi menunjukkan bahwa rendahnya kualitas dan efektifitas pelayanan publik
telah melahirkan dampak multidimensional. Secara sosial-politik, buruknya
pelayanan publik menimbulkan erosi kepercayaan dan sinisme warga terhadap
pemerintah yang pada gilirannya meruntuhkan ketertiban dan kedamaian pada
masyarakat.
Secara
ekonomi, korupsi dan rendahnya akuntabilitas institusi publik bukan saja telah
mengurangi anggaran pelayanan bagi rakyat banyak. Melainkan pula telah
menghambat perekonomian. Bukti-bukti empiris di banyak negara memperlihatkan
bahwa korupsi memiliki dampak negatif yang signifikan dan luas terhadap
investasi dan perdagangan.
Sebaliknya,
korupsi yang rendah memacu investasi dan pertumbuhan ekonomi. Analisis Regresi
yang dilakukan Paul Mauro
(1998)
menunjukkan bahwa sebuah negara yang mampu memperbaiki indeks korupsinya,
misalnya dari 6 ke 8 (0 adalah indeks korupsi tertinggi dan 10 terendah)
mengalami peningkatan 4 persen dalam tingkat investasi dan 0,5 persen dalam
pertumbuhan GDP tahunannya.
2.2 Paradigma
dan Situasi Pelayanan Publik di Indonesia
Sebagai bagian dari respon terhadap
tantangan global di atas, telah terjadi pergeseran paradigma dalam pelayanan
publik yaitu:
1. Dari
problems-based services ke rights-based services. Pelayanan
sosial yang dahulunya diberikan sekadar untuk merespon masalah atau kebutuhan
masyarakat, kini diselenggarakan guna memenuhi hak-hak sosial masyarakat
sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi nasional dan konvensi internasional.
2. Dari
rules-based approaches ke outcome-oriented approaches. Pendekatan
pelayanan publik cenderung bergeser dari yang semata didasari peraturan
normatif menjadi pendekatan yang berorientasi kepada hasil. Akuntabilitas,
efektifitas dan efisiensi menjadi kata kunci yang semakin penting.
3. Dari
public management ke public governance. Menurut Bovaird dan
Loffler (2003), dalam konsep manajemen publik, masyarakat dianggap sebagai
klien, pelanggan atau sekadar pengguna layanan sehingga merupakan bagian dari market
contract. Sedangkan dalam konsep kepemerintahan publik, masyarakat dipandang
sebagai warga negara yang merupakan bagian dari social contract.
Namun
demikian, ini tidak berarti bahwa paradigma
baru menafikan sama sekali paradigma lama. Meski paradigma baru cenderung
semakin menguat, diantara keduanya senantiasa ada persinggungan dan kadang
saling mendukung. Pelayanan
Publik di Indonesia cenderung memiliki beberapa permasalahan yang mendasar.
Selain efektifitas pengorganisasian dan partisipasi publik dalam
penyelenggaraan pelayanan masih relatif rendah, pelayanan publik juga belum
memiliki mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa. Akibatnya, kualitas
produk layanan juga belum memuaskan para penggunanya. Selain itu, pelayanan
publik di Indonesia juga belum responsif terhadap masyarakat dengan kebutuhan
khusus, termasuk terhadap kelompok rentan, penyandang cacat, lanjut usia dan
komunitas adat terpencil.
Sebagai
contoh, nasib anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat di Indonesia,
sangat memprihatinkan dan jauh tertinggal dibanding di negara Asia lainnya.
Nasib mereka masih terpinggirkan hampir di semua sektor, mulai pendidikan,
pekerjaan, hingga ketersediaan fasilitas publik yang bersahabat (Suara
Pembaruan, 23 Juli 2008).
Diakui,
memang sudah ada regulasi tentang penyandang cacat, yakni UU 4/1997 dan
diperkuat lagi dengan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang di dalamnya
diatur soal anak-anak penyandang cacat. Namun, dalam kenyataannya instrumen
legal ini belum dapat diimplementasikan secara efektif. Sejumlah aturan yang
mengharuskan keberpihakan pada penyandang cacat tidak dipatuhi, baik oleh
masyarakat, kalangan swasta maupun pemerintah sendiri.
Belum
lama ini Departemen Pendidikan Nasional memangkas anggaran pendidikan untuk
anak-anak penyandang cacat. Kebijakan pemerintah memangkas anggaran pendidikan
bagi anak-anak penyandang cacat dari Rp 300 miliar pada tahun anggaran 2007
menjadi Rp 130 miliar untuk anggaran 2008, jelas merupakan langkah
diskriminatif.
Sebab,
anak luar biasa membutuhkan pelayanan khusus. Mereka seharusnya mendapat
perhatian khusus atau minimal sama dengan anak biasa (normal) pada umumnya
dalam mendapatkan hak pendidikan. Anak berkebutuhan khusus memiliki keperluan
yang berbeda dengan anak normal. Untuk membeli alat tulis misalnya, anak normal
cukup mengeluarkan sekitar Rp 500- Rp 1.000. Bagi anak tunanetra (buta)
pengeluaran untuk alat tulis huruf Braille bisa mencapai Rp 15.000.
Selain
persoalan UU yang ada belum diimplementasikan sebagaimana mestinya, sehingga
hanya menjadi dokumen belaka, anggota masyarakat juga masih banyak yang
menganggap kelompok rentan dan berkebutuhan khusus sebagai orang yang tak layak
masuk dalam ruang publik. Wujudnya, pandangan sinis hingga sikap yang secara
langsung maupun tidak langsung mengeliminasi orang cacat atau lanjut usia dari
kehidupan sosial.
2.3 Peran
Departemen Sosial dalam Pelayanan Publik
Depsos
adalah lembaga pemerintah yang fungsi utamanya menjalankan pembangunan
kesejahteraan sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial pada intinya merupakan
seperangkat kebijakan, program dan kegiatan pelayanan sosial yang dilakukan melalui
pendekatan rehabilitasi sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan sosial
guna meningkatkan kualitas hidup, kemandirian, dan terpenuhinya hak-hak dasar
masyarakat (Suharto, 2008a).
Sasaran
utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah kelompok-kelompok lemah dan
kurang beruntung yang dikenal dengan istilah Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) atau Pemerlu Pelayanan Sosial (PKS) (Suharto, 2008b). Lima
permasalahan sosial yang menjadi target Depsos mencakup kemiskinan,
ketelantaran, kecacatan, keterasingan, dan ketunaan sosial.
Dalam
garis besar, penerapan kebijakan pelayanan sosial difokuskan pada lima program,
yaitu:
1. Program
pengembangan potensi kesejahteraan sosial, seperti organisasi sosial, Lembaga
Swadaya Masyarakat, dan dunia usaha dalam upaya memperluas jangkauan pelayanan
sosial.
2. Program
peningkatan kualitas manajemen dan profesionalisme pelayanan sosial. Tujuan
utamanya adalah meningkatnya mutu dan profesionalisme pelayanan sosial melalui
pengembangan alternatif-alternatif strategi pekerjaan sosial, standardisasi dan
legislasi pelayanan sosial.
3. Program
pengembangan keserasian kebijakan publik dalam penanganan masalah-masalah
sosial. Tujuan utamanya adalah terwujudnya koordinasi dan jaringan kerja yang
dapat meningkatkan sistem perlindungan dan ketahanan sosial masyarakat sehingga
mereka mampu merespon gelagat dan dampak perubahan sosial di sekitarnya.
4. Program
pengembangan sistem informasi kesejahteraan sosial. Tujuannya adalah
mengidentifikasi data dan informasi kesejahteraan sosial yang diperlukan bagi
perumusan kebijakan sosial, mekanisme peringatan dini, dan koordinasi jaringan
kelembagaan dalam mengendalikan masalah-masalah sosial.
Program peningkatan peran serta masyarakat
dan pengarusutamaan gender.
Program ini bertujuan utnuk meningkatkan partisipasi publik dan peran
lembaga-lembaga pemberdayaan perempuan.
2.3.1
Pelayanan Sosial Bagi
Penyandang Cacat
Pusat
Data dan Informasi (Pusdatin) Depsos memperkirakan jumlah penyandang Cacat pada
tahun 2006 adalah sekitar 2,429,708 atau 1,2 persen dari total penduduk
(Suharto, 2007). Survey yang dilakukan Pusdatin Depsos pada tahun 2007
menunjukkan bahwa, populasi penyandang cacat adalah sekitar 3,11 persen dari
total penduduk Indonesia. Jika jumlah penduduk tercatat 220 juta, maka jumlah
penyandang cacat mencapai 7,8 juta jiwa.
Kecacatan
adalah hilangnya atau abnormalitasnya fungsi atau struktur anatomi, psikologi
maupun fisiologi seseorang. Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, penyandang cacat diklasifikasikan dalam tiga jenis kecacatan
yaitu cacat fisik, cacat mental, serta cacat fisik dan mental yang dikenal
dengan “cacat ganda”.
Kecacatan
menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau gangguan yang mempengaruhi
keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan dan haraga diri, hubungan antar
manusia maupun dengan lingkungannya. Permasalahan sosial yang timbul dari
kecacatan antara lain adalah ketidakberfungsian sosial, yakni kurang mampunya
penyandang cacat melaksanakan peran-peran sosialnya secara wajar.
Masalah
kecacatan juga akan semakin berat bila disertai dengan masalah kesejahteraan
sosial lainnya seperti kemiskinan, keterlantaran dan keterasingan. Kondisi
seperti ini menyebabkan hak penyandang cacat untuk tumbuh kembang dan berkreasi
sebagaimana orang-orang yang tidak cacat tidak dapat terpenuhi.
Masalah
yang masih dihadapi dalam kaitannya dengan pelayanan sosial bagi penyandang
cacat adalah:
1. Belum
tersedianya data yang akurat dan terkini tentang karakteristik kehidupan dan
penghidupan berbagai jenis penyandang cacat.
2. Belum
memadainya jumlah dan kualitas tenaga spesialis untuk berbagai jenis kecacatan.
3. Terbatasnya
sarana pelayanan sosial dan kesehatan serta pelayanan lainnya yang dibutuhkan
oleh penyandang cacat, termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang
dapat mempermudah kehidupan penyandang cacat.
4. Terbatasnya
lapangan kerja bagi mereka (Depsos, 2003).
Pelayanan sosial bagi penyandang cacat
yang dilakukan Depsos meliputi:
1. Pelayanan
sosial di rumah (home care services) untuk konseling perlakuan dalam situasi
rumah, terapi fisik, diagnosis dan perantara untuk penempatan dalam institusi
sekolah, rujukan pelayanan rehabilitasi sosial, lapangan kerja, pelayanan alat
bantu khusus bagi penyandang cacat dan aktivitas waktu luang.
2. Pelayanan
rehabilitasi dan dukungan untuk melaksanakan kehiduppan secara mandiri,
meliputi usaha bimbingan fisik, mental, motorik dan mobilitas, terapi sikap dan
perilaku.
3. Jaminan
perlindungan dan aksesibilitas terhadap pelayanan publik.
4. Bimbingan
terapi kerja, praktek belajar kerja serta pemberian bantuan usaha ekonomis
produktif secara kelompok usaha bersama (KUBE) serta pengembangan budaya
kewirausahaan.
5. Standardisasi
pelayanan sosial.
6. Pengembangan
sistem rujukan, advokasi dan pemberian kuota pekerjaan, serta bibimbingan
resosialisasi dan penyaluran dengan mendayugunakan mekanisme Unit Pelayanan
Sosial Keliling (UPSK), Loka Bina Karya (LBK), Rehabilitasi Berbasis Masyarakat
(RBM) dan Pusat Pelatihan Keterampilan Kerja Penyandang Cacat serta lembaga
pelayanan sosial lainnya.
7. Selain
itu, untuk meningkatkan apreasi masyarakat terhadap hak asasi penyandang cacat
dilakukan penyuluhan dan peningkattan sensitivitas masyarakat terhadap
kehidupan penyandang cacat, advokasi dan perbaikan kurikulum lembaga-lembaga
pendidikan dan latihan (Depsos, 2003).
2.3.2
Pelayanan Sosial Bagi
Lanjut Usia
Meningkatnya
pendapatan masyarakat, membaiknya status kesehatan dan gizi masyarakat, dan
perubahan pola hidup telah meningkatkan usia harapan hidup dan populasi lanjut
usia di Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memasuki era penduduk berstruktur
lanjut usia (ageing structured population).
Jika
pada tahun 1980, rata-rata penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun “hanya”
sekitar 5,45 persen dari total penduduk. Maka pada tahun 1990 dan 2000,
prosentasenya meningkat menjadi 6,29 persen dan 7,18 persen. Pada tahun 2010
dan 2020, prosentase lanjut usia diperkirakan akan meningkat lagi menjadi 9,77
persen dan 11,34 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia (Depsos, 2008;
Suharto, 2008c).
Tantangan
utama yang dihadapi akibat meningkatnya jumlah lanjut usia, terutama mereka
yang tidak potensial dan terlantar, adalah penyediaan perlindungan sosial baik
yang bersifat formal maupun informal. Penyiapan lapangan kerja yang sesuai
dengan kemampuan fisik lanjut usia merupakan tantangan lain bagi mereka yang
masih potensial.
Pelayanan
sosial bagi lanjut usia yang dilakukan Depsos meliputi tiga sistem (Depsos,
2008):
1. Pelayanan
sosial dalam panti (institutional-based services): Pelayanan sosial
reguler dalam Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) di 243 panti untuk memenuhi
kebutuhan hidup 11.416 lansia secara layak.
2. Pelayanan
harian (daycare services). Pelayanan sosial yang disediakan bagi lanjut
usia yang bersifat sementara, dilaksanakan pada siang hari pada waktu tertentu.
3. Pelayanan
subsidi silang.
4. Pelayanan
sosial luar panti (community-based services): Home Care.
Pelayanan sosial bagi lanjut usia yang tidak potensial yang berada di
lingkungan keluarganya. Misalnya, pemberian bantuan pangan, bantuan kebersihan,
perawatan kesehatan, pendampingan, reksreasi, konseling dan rujukan. Pada tahun
2008 tercatat 5.812 lanjut usia yang menerima pelayanan ini di 33 provinsi.
5. Foster
Care. Pelayanan sosial bagi lanjut usia
terlantar melalui keluarga orang lain. Jaminan sosial yang berupa tunjangan
uang sebesar Rp.300.000 per orang per bulan. Pelayanan ini telah dilakukan
sejak tahun 2006 di 6 provinsi terhadap 2.500 lanjut usia. Pada tahun 2007
diterapkan di 10 provinsi terhadap 3.500 lanjut usia. Pada tahun 2008, lanjut
usia yang menerima pelayanan ini menjadi 10.000 orang yang tersebar di 15
provinsi. Pemberdayaan
lanjut usia potensial melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Kelompok Usaha
Bersama (KUBE). Di 33 provinsi, UEP menjangkau 14.218 orang dan KUBE menjangkau
6.320 orang. Pelayanan sosial masyarakat yang dilakukan melalui Pusat Santunan
Keluarga (PUSAKA) dan Karang Lansia.
6. Pelayanan
terobosan (uji coba): Uji coba pelayanan harian lanjut usia di 5 lokasi, yaitu
di PSTW Budhi Dharma Bekasi, Karang Wredha Yudistira Sidoarjo, PSTW Puspa Karma
Mataram, Medan dan Kupang.
Uji coba Trauma Center Lanjut Usia di 5
lokasi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, NTB, dan Makassar.
Uji coba Home Care di 6 lokasi, yaitu di
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nanggro Aceh Darussalam, dan Kalimantan
Selatan.
Pelayanan dukungan di bidang kesehatan
(seperti Puskesmas Santun Lansia dan Pengobatan Gratis/Kartu Gakin/JKM),
ketenagakerjaan (penyiapan Pra Lansia memasuki lanjut usia), dan transportasi
(reduksi tiket bagi lanjut usia).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pelayanan publik telah
menjadi lembaga dan profesi yang semakin penting. Pelayanan publik telah semakin berkembang dan menyentuh banyak lapisan
masyarakat. Pelayanan Publik tidak hanya diperuntukkan bagi penduduk yang
secara fisik dan mentalnya sehat tapi juga bagi penduduk yang memiliki
kebutuhan khusus.
Salah satu lembaga yang melakukan pelayanan publik di
Indonesia adalah Departemen Sosial. Departemen sosial sebagai pelaksana
pelayanan publik kepada masyarakat dengan kebutuhan khusus melakukan dua jenis
pelayanan yaitu:
1.
Pelayanan sosial
bagi penyandang cacat
2.
Pelayanan sosial
bagi lansia
DAFTAR
PUSTAKA
Bovaird, Tonny dan Elke Loffler (2003), Public
Management and Governance, London: Routledge
Depsos
(2003), Pedoman Umum Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Jakarta:
Depsos RI
Depsos
(2008), Kebijakan dan Program Pelayanan dan Perlindungan Kesejahteraan Sosial
Lanjut Usia, Jakarta: 2008
Mauro, Paul (1998), “Corruption:
Causes, Consequences, and Agenda for Further Research” dalam Finance &
Development, A Quarterly Publication of IMF and the World Bank, March,
hal.12
Suara
Pembaruan (2008), “Permasalahan Anak Seperti Gunung Es”, Koran Suara Pembaruan,
edisi 23 Juli
Suharto, Edi (2007), “Roles of Social Workers in
Indonesia: Issues and Challenges in Rehabilitation for Persons with
Disability”, makalah yang disajikan pada The Third Country Training
on Vocational Rehabilitation for Persons with Disabilities, National
Vocational Rehabilitation Centre (NVRC) Cibinong, Bogor-Indonesia, 14
Agustus
Suharto,
Edi (2008a), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung:
Alfabeta (Cetakan Kedua)
Suharto,
Edi (2008b), Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta (Cetakan
keempat)
Suharto, Edi (2008c), “Trend Lansia dan Pelayanan
Sosial yang Harus Disediakan: Perspektif Pekerjaan Sosial” , makalah yang
disajikan pada Lokakarya Kelanjut Usiaan dan Pelayanan Sosial Modern,
Depsos RI, Bogor 23 Maret
UNDESA (United
Nations Department of
Economic and Social
Affairs) (2000),
Profesionalism
and Ethics in the Public service: Issues and Practices in selected Regions,
New York: UNDESA
Wikipedia (2008), Pelayanan Publik,
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik (diakses 6 Oktober)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar